عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ
بْنِ الْجَرَّاحِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ الصَّوْمُ جُنَّةٌ مَا لَمْ يَخْرِقْهَا قَالَ أَبُو مُحَمَّد
يَعْنِي بِالْغِيبَةِ
Dari Abu 'Ubaidah bin Al Jarrah ia berkata, "Aku mendengar
Rasulullah Saw bersabda: "Puasa adalah tameng selama ia belum
melubanginya." Abu Muhammad berkata, "Yaitu dengan menggunjing orang
lain."
Ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada saudaranya ketika ia tidak
hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya, seperti menggambarkannya
dengan apa yang dianggap sebagai kekurangan menurut umum untuk meremehkan dan
menjelekkan. Maksud saudaranya di sini adalah sesama muslim. Pengertian ini
didasarkan dari penjelasan Rasulullah
berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا
الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا
يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ
فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya: "Tahukah
kamu, apakah ghibah itu?" Para sahabat menjawab; 'Allah dan Rasul-Nya
lebih tahu.' Kemudian Rasulullah SAW bersabda: 'Ghibah adalah kamu membicarakan
saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.' Seseorang bertanya; 'Ya
Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu
memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ' Beliau berkata: 'Apabila benar apa yang kamu
bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila
yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat
kebohongan terhadapnya.'[1]
Sesuatu yang tidak disukai oleh
saudara atau orang lain biasanya menyangkut aib berupa kekurangan atau hal-hal
negatif yang ada pada dirinya. Tak seorangpun senang aibnya diketahui orang
lain. Membeberkan aib seseorang sama halnya mempermalukannya. Semua perbuatan
yang membentuk kesan buruk tentang seseorang dan membiarkan orang lain berkesan
buruk kepadanya termasuk dalam kategori ghibah.
Aisyah pernah menceritakan seorang isteri nabi lainnya di sisi Nabi SAW dan
menyebut-nyebut kekurangannya. Kontan beliau bersabda: "Sungguh engkau telah
mengghibahnya."[2]
Pada umumnya manusia tidak suka kekurangan
atau hal-hal negatif yang ada pada dirinya menjadi bahan perbincangan publik. An
Nawawi memberikan penjelasan tentang hal-hal yang disebut antara lain: keadaan
tubuhnya, agamanya, dunianya, dirinya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang
tuanya, isterinya, pembantunya, pakaiannya, gerak-geriknya, raut mukanya, atau
hal-hal lain yang berhubungan dengannya.[3]
Imam al Ghazali dalam ihya ulumuddin juga
berpendapat serupa. Perbincangan pada obyek-obyek tersebut menjadi ghibah bila
orang yang diperbicangkan merasa tidak suka.
Perbuatan ghibah bisa dilakukan
melalui pembicaraan lisan, tulisan, isyarat, atau dengan bahasa tubuh.
Ghibah dengan pembicaraan lisan bisa terjadi saat berbicara dengan
seseorang, sekelompok orang, atau dalam majlis. Ghibah dengan tulisan bisa
dilakukan dalam bentuk surat kepada seseorang, tulisan publikasi dalam koran,
tabloid, majalah, buku, website, facebook, twitter, brosur, dll. Ghibah melalui bahasa tubuh bisa
dilakukan dengan isyarat, ekspresi wajah, gerakan tubuh tertentu, atau
menirukan tingkah laku dan gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan
dengan maksud mengolok-olok.
Dalam kehidupan masyarakat saat
ini, ghibah juga dilakukan dengan
dukungan media masa sehingga mempunyai efek yang sangat luas. Kita menyaksikan
banyak stasiun radio dan televisi menyajikan acara ghibah yang dikemas dengan cara yang menarik, mendapat apresiasi
luas dari masyarakat yang dibuktikan dengan rating jumlah penonton yang banyak.
Kita juga mudah mendapatkan koran, tabloid, majalah, brosur yang
tulisan-tulisannya mengandung ghibah
mempunyai tiras besar, yang berarti
banyak dibeli dan dibaca masyarakat. Ghibah
kini telah didukung oleh teknologi informasi lainnya yang canggih seperti handphone, telekonferen, audiostreaming, videostreaming,
jejaring sosial facebook, twitter, dll.
Bagaimana halnya dengan orang
yang hanya mendengarkan orang lain ber-ghibah?
Mau mendengarnya berarti membiarkan orang lain berbuat mungkar, yakni melanggar
larangan Allah ber-ghibah. Rasulullah
memerintahkan kita bila melihat kemungkaran hendaknya merubah dengan kekuasaan,
lisan, atau hatinya. Yang paling utama dengan kekuasaan. Bila hanya mampu
dengan hati, imannya dalam kondisi yang
selemah-lemahnya.
Mampu menghentikan pembicaraan ghibah berarti telah merubah kemungkaran
dengan kekuasaan. Menyampaikan bahwa pembicaraan yang terjadi adalah ghibah
tetapi tidak bisa menghentikannya adalah merubah dengan lisan. Berlalu dan
meninggalkannya adalah bentuk merubah dengan hati. Ikut terlibat di dalamnya
meskipun hanya sebagai pendengar berarti ia setuju terhadapnya dan membiarkannya
terus berlangsung. Imannya berada dalam kondisi yang lebih buruk dari
selemah-lemah iman. Apalagi bila mendengarkannya dilakukan dengan antusias, ia
telah berperan dalam menghidupsuburkan ghibah.
Mendengar, menonton dan membaca acara maupun tulisan ghibah apalagi sampai
menggemarinya, termasuk pendukung ghibah. Semakin banyak didengar,
ditonton dan dibaca orang acara ghibah
menjadi semakin subur. Salah satu ciri orang-orang mukmin yang beruntung adalah
kemampuannya meninggalkan perbuatan yang sia-sia.[4]
Ber-ghibah bukan saja sia-sia, tetapi
termasuk perbuatan mungkar yang wajib dihindari dan ditinggalkan.
Allah menggambarkan orang yang
ber-ghibah seperti makan bangkai
saudaranya yang telah mati. Membicarakan aib, kekurangan, hal-hal negatif pada
orang lain berakibat pada matinya karakter seseorang. Sering disebut sebagai “character assasination”. Citra dirinya menjadi hancur dan mati seperti bangkai akibat ghibah.
Tidak ingin karakter Anda “terbunuh”? Jangan “bunuh” orang lain,
apalagi memakan bangkainya!
Wallahu a’lam
Agus Sukaca