Dakwah dan Pencerahan Ummat

SMP MUTIARA

SMP MUTIARA
Tampilkan postingan dengan label TABLIGH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TABLIGH. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Maret 2014

Sembilan Kebiasaan Emas

Sembilan Kebiasaan Emas

Usaha untuk mewujudkan diri menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya tidak dapat dilakukan dengan cara instan. Dalam usaha ini, seseorang harus melaksanakan upaya-upaya pembenahan diri secara terus-menerus. Karena itu, prosesnya sangatlah panjang. Salah satu faktor penting dalam mewujudkan Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya adalah keberhasilan seseorang dalam membiasakan amalan-amalan yang melekat pada dirinya sehingga menjadi ciri-ciri atau identitas pribadinya.
Hanya saja, dengan tanpa disadari, kita telah banyak melewatkan waktu-waktu berharga untuk menjalani kebiasaan-kebiasaan positif setiap hari. Padahal, kebiasaan merupakan aktivitas yang dilakukan berulang-ulang sehingga pusat kendalinya bergeser dari otak sadar ke bawah sadar. Aktivitas yang berada dalam kendali otak sadar perlu energi yang lebih besar. Sedangkan, aktivitas yang berada dalam kendali otak bawah sadar lebih ringan melakukannya dan energi yang diperlukannya juga lebih sedikit.
Bagaimanapun, kepribadian dan kualitas diri seseorang dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Apabila kebiasaan-kebiasaan seseorang itu terbentuk oleh lingkungan di mana ia berada, maka secara otomatis ia membentuk dirinya sebagaimana kebanyakan orang-orang yang ada di lingkungannya. Tentu sangatlah beruntung apabila ia berada di tengah-tengah orang-orang shaleh. Sebab, ia dapat memiliki kebiasaan-kebiasaan yang menjadi ciri-ciri orang shaleh. Namun, apabila ia berada di lingkungan orang-orang yang kurang peduli kepada tuntunan agama, maka kebiasaan yang akan terbangun tentu juga akan jauh dari tuntunan agama.
Perlu diketahui bahwa situasi dan kondisi dunia tempat kita tinggal sekarang ini jauh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah merubah dunia menjadi semakin terasa kecil. Sekat-sekat geografis telah mencair. Dunia semakin tak berbatas, datar dan tidak bulat lagi. Lingkungan pergaulan semakin majemuk. Adanya facebook, twitter dan teknologi internet lainnya telah menjadikan lingkungan pergaulan mampu menjangkau orang di mana saja dan kapan saja. Boleh jadi, seseorang telah bersahabat dengan orang yang tinggal dengan jarak ribuan kilometer. Mereka dapat berkomunikasi secara efektif, tetapi tidak mengenal siapa yang tinggal di sebelah rumahnya masing-masing.
Kemajemukan lingkungan pergaulan dengan latar belakang yang berbeda-beda di satu sisi bisa memperluas wawasan seseorang, tetapi di sisi lain bisa menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, kita harus cerdas memilih lingkungan pergaulan yang sesuai dengan keyakinan dan cita-cita kita. Kalau bercita-cita menjadi orang sukses, kita harus mencari teman-teman yang sukses. Apabila ingin pintar, bertemanlah dengan orang-orang pintar. Apabila ingin berani, bergaulah dengan pemberani. Apabila ingin jujur, bergaulah dengan orang-orang jujur. Salah satu cara untuk melihat bagaimana keadaan seseorang dapat dilakukan dengan melihat siapa saja yang menjadi teman-teman dekatnya.
Pilihan-pilihan tersebut tentu berada di tangan kita masing-masing. Kita tidak boleh menyerahkan diri untuk mengikuti kebiasaan orang-orang kebanyakan. Adalah suatu “kegilaan” seseorang yang mengharapkan sukses tetapi melaksanakan hal-hal seperti yang dilaksanakan orang kebanyakan. Cita-cita sukses haruslah diikuti dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang terbukti mampu membawa kesuksesan seperti yang telah dipraktikkan oleh orang-orang sukses lainnya. Kalau mau menjadi orang pintar, kita harus berkonsultasi dengan orang-orang yang pintar dan melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka. Pastinya, mereka terbiasa belajar dan membaca! Kalau kita mau jadi pengusaha sukses, berkonsultasinya dengan pengusaha sukses, mengikuti petunjuk dan melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka. Kunci untuk mengetahui apa saja kebiasaan-kebiasaan sukses yang mereka lakukan, kita bisa berkonsultasi dengannya!
Lantas, bagaimana dengan cita-cita seseorang yang ingin menjadi penghuni surga? Syaratnya, ketika hidup di dunia kita mesti berjuang dan berproses menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya. Idealnya, seperti pribadi Rasulullah Muhammad SAW. Untuk itu, kita harus berkonsultasi dengan Beliau dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang telah dicontohkan. Persoalannya, kebiasaan-kebiasaan Rasulullah amatlah banyak. Lantas, dari mana kita mulai?
Sejalan dengan pertanyaan tersebut, terdapat pelajaran bagus dari seorang guru, sebagaimana dikemukakan John McGrath dalam bukunya You Don’t Have to be Born Brilliant. Seorang guru mengeluarkan dari bawah bangkunya sebuah gelas kimia yang tingginya 30 cm. Ia juga mengeluarkan beberapa batu besar berukuran kepalan tangan. Dengan hati-hati, ia masukkan satu persatu batu-batu tersebut sampai 10 buah. Ketika memasukkan batu yang ke 11, gelas kimia tersebut tidak mampu memuatnya dan batunya bergulir jatuh. Sang guru kemudian memandang murid-muridnya dan bertanya: “apakah menurut kalian gelas kimia ini sudah penuh?” Murid-murid pun mengangguk. Sebab, mereka melihat tidak ada celah lagi untuk memasukkan batu. Kemudian, guru tersebut mengeluarkan ember berisi batu-batu kerikil seukuran kacang polong. Pelan-pelan ia tuang kerikil tersebut ke dalam gelas kimia, sampai tidak ada lagi ruangan tersisa di antara batu-batu besar.
Setelah itu, pertanyaan yang sama diajukan sang guru kepada murid-muridnya dan mereka mengangguk. Setelah mendengar jawaban itu, sang guru mengeluarkan ember berisi pasir. Ia menuang pasir di antara kerikil dan batu-batu besar sampai ruangan yang tersisa menjadi penuh. Para murid heran akan daya tampung gelas kimia tersebut dan bingung bagaimana menjawab pertanyaan guru mereka selanjutnya: “apakah gelas kimia ini sekarang sudah penuh?” Sebelum mereka mampu menjawab, sebuah botol berisi air dikeluarkan dari bawah bangku dan dituangkan ke dalam gelas kimia di antara batu, kerikil dan pasir. Sang guru tersenyum dan berkata bahwa demonstrasinya telah usai. “Sekarang beritahu saya, pelajaran apa yang bisa dipetik dari latihan ini?”.
Seorang murid dengan antusias menjawab: “guru, saya belajar bahwa seringkali kita bisa memasukkan jauh lebih banyak daripada yang kita kira sebelumnya”. “Jawaban bagus! Tetapi ada pelajaran lain yang saya ingin kalian temukan!” Para murid berpikir keras, sampai akhirnya ada seorang yang menjawab: “guru, pelajaran yang bisa saya ambil adalah jika kita tidak menaruh batu-batu besarnya terlebih dahulu, kita takkan mampu memasukkan benda lainnya. Jadi pelajaran buat saya adalah menaruh batu besarnya dahulu”. Mendengar jawaban itu, sang guru tersenyum dengan perasaan sangat bangga. “Kalian pintar. Memang itulah pelajaran yang ingin saya berikan”.
Melihat pelajaran tersebut di atas, lantas kebiasaan-kebiasaan apa saja yang menjadi batu-batu besar dalam proses menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya? Terkait dengan hal ini, kami tawarkan sembilan (9) kebiasaan menjadi batu-batu besar kita dalam mewujudkan diri menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya. Kami sering menyebut sembilan (9) kebiasaan ini sebagai “The Nine Golden Habbits”. Kesembilan kebiasaan tersebut adalah: pertama, kebiasaan Shalat; (a) Shalat Wajib di awal waktu dan berjamaah diiringi shalat sunnah Rawatib; (b) Shalat Tahajud (lail) di setiap sepertiga malam terakhir; dan (c) Shalat Dhuha setiap pagi. 
Kedua, kebiasaan Puasa, di samping melaksanakan puasa Ramadhan juga membiasakan berpuasa Sunnah. Ketiga, kebiasaan berzakat, infaq dan shadaqah (ZIS), senantiasa mengeluarkan lebih dari 2,5% dari total pendapatan untuk ZIS. Keempat, kebiasaan membaca al-Qur’an: senantiasa membaca al-Qur’an pada waktu-waktu tertentu, misalnya: sehabis maghrib, menjelang subuh, bada shubuh dan lain-lain serta mengkhatamkannya minimal 1 kali dalam sebulan. Kelima, kebiasaan membaca buku lebih dari 1 jam setiap hari. Keenam, kebiasaan beradab Islami dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Ketujuh, kebiasaan mengaji dan berada dalam komunitas orang shaleh lebih dari sekali dalam seminggu. Kedelapan, kebiasaan berkata baik, beramal shaleh dan memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Kesembilan, kebiasaan berpikir positif dan murah senyum. (Dr H Agus Sukaca MKes)
 

Minggu, 09 Maret 2014

Tanya Jawab : Posisi Ma'mum Satu orang, Seorang Wanita/Istri

Tanya Jawab : Posisi Ma'mum Satu orang, Seorang Wanita/Istri

Bagaimana Posisi Ma'mum Satu orang ? ; Bagaimana Posisi Ma'mum Jika Hanya Seorang Wanita/Istri? ; adakah tuntunan Shalat berjam'ah berantai/bersambung Setelah Imam Salam?
Oleh: H. Syakir Jamaluddin, M.A.

 
Bagaimana Posisi Ma’mum Satu Orang?

Jika ma’mum hanya seorang, maka posisi shafnya berada di sebelah kanan imam. Ketika Ibn ‘Abbas ra sendirian datang berma’mum shalat malam di sebelah kiri Nabi saw, maka Ibn ‘Abbas ditarik oleh Nabi saw untuk diposisikan di sebelah kanan Nabi saw (فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ. Muttafaq ‘alayh).[1] Umumnya riwayat tersebut tidak menyebutkan sejajar, namun ada satu riwayat Ibn 'Abbâs bahwa ketika ia berdiri di belakang, tangannya ditarik oleh Nabi saw dan menjadikannya sejajar/berjajar dengan beliau (حِذَاءَهُ). Lalu Ibn 'Abbas agak mundur sedikit karena merasa tidak layak berjajar dengan Nabi saw, kemudian setelah dikonfirmasi, Nabi pun mendoakannya mudah-mudahan Allah menambahkan ilmu dan pemahaman kepadanya (HSGR. Ahmad, al-Bayhaqi & Hakim).[2] 'Umar juga pernah menarik 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ûd untuk berdiri berjajar di kanannya (HR. Malik, 1/154: 360), demikian pula Ibn 'Umar kepada Nâfi' (HR. Malik, 1/134: 302). Berdasarkan hadis Nabi dan atsar shahabat di atas, maka mayoritas ulama seperti Hanabilah, Malikiyah, dan diikuti mayoritas ulama sekarang: al-Albâni, Ibn ‘Utsaymîn, Bin Bâz, ‘Abdullâh al-Faqîh dan ‘Abdullâh bin Jibrîn berpendapat bahwa posisi ma’mum seorang berada di kanan sejajar dengan imam karena tak satupun dalil yang menuntunkan untuk mundur sedikit. Adapun sebagian Syâfi'iyyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa ma'mum disunnahkan mundur sedikit sekedar untuk membedakan antara imam dengan ma'mum.[3] Meskipun mereka tidak menjelaskan dalilnya, tapi bisa jadi mereka berpendapat demikian karena, pertama: keumuman hadis tentang posisi dasar ma’mum berada di belakang imam, meskipun tetap harus berjajar di sebelah kanan imam. Jika sejajar persis, dikhawatirkan posisi ma’mum yang punya kaki dan telapak kaki lebih panjang dari imam akan memposisikan ma’mum berada di depan imam, dan tentu ini terlarang; Kedua, dalam HR. Ahmad Ibn ‘Abbâs di atas, Nabi saw hanya menanyakan kenapa Ibn 'Abbâs tidak berjajar dengannya, lalu Nabi saw mendoakannya, tanpa melarangnya; Ketiga, jika ma’mum sejajar, maka ma’mum berikutnya yang datang menyusul tidak bisa mengetahui apakah mereka berjamaah ataukah shalat sendiri-sendiri sehingga jamaah masbuq yang datang menyusul tersebut bisa jadi berma’mum pada orang yang sedang berma’mum. Dari sini penulis bisa memahami kenapa sebagian besar jamaah memilih pendapat kedua yakni mundur sedikit sekedar untuk membedakan antara imam dengan ma’mum, tanpa menghilangkan makna berjajar di samping kanan imam, meskipun pendapat pertama memiliki dalil yang lebih kuat dan rinci. Wa-llâhu a‘lam.

Jika datang menyusul ma’mum yang lain maka hendaklah langsung berdiri di belakang imam, jangan di kiri imam, kemudian ma’mum yang sendirian di samping kanan imam tadi, mundur ke belakang untuk menyamakan shaf dengan ma’mum yang lain.[4] Jika tidak mundur, maka hendaklah imam mendorongnya mundur hingga keduanya berjajar di belakang imam.[5] Hal ini karena pada prinsipnya bila ma’mum lebih dari satu orang maka ma`mum berbaris lurus dan rapat di belakang imam di mana posisi imam berada di tengah. Jika datang menyusul ma’mum yang lain lagi maka hendaklah mengisi shaf kanan lebih dahulu, baru kemudian shaf kiri (HR. Abu Dawud & Muslim, dari Jabir ra.) dengan memperhatikan keseimbangan antara kanan dan kiri. Setelah shaf depan penuh, barulah ma’mum lain yang datang kemudian menyusun shaf  baru di belakangnya.
Peringatan:
Jika ma’mum yang datang belakangan hanya sendirian di shaf belakang, maka dilarang menarik ke belakang seorang pun jamaah yang sudah berbaris mapan dengan jamaah lain. Hal ini karena: 1) Pada prinsipnya, shaf depan lebih baik dari pada shaf belakang. Kita disunnahkan menyempurnakan shaf depan lebih dulu, bukan malah menguranginya; 2) Bisa merusak dan mengganggu konsentrasi jamaah karena mesti akan menggeser shaf yang sudah mapan dan sempurna di depan, 3) Hadis yang biasa dijadikan landasan untuk menarik seorang jamaah untuk menemani ma'mum yang sendirian di belakang adalah lemah sekali, bahkan palsu.[6]  Sedangkan hadis yang menyebutkan tidak sah orang shalat di belakang sendirian (HR. Abu Dâwud, Ibn Mâjah) adalah maqbûl, tapi maksudnya adalah shalat sendiri yang terpisah jauh dari jamaah, apalagi tidak bergabung dengan jamaah yang ada.

Bagaimana Posisi Ma’mum Jika Hanya Seorang Wanita/Istri?
Jika ma’mumnya hanya ada seorang wanita saja maka tidak boleh berjama’ah berduaan dengan diimami laki-laki yang bukan mahramnya atau bukan suaminya. Selain karena tidak ada hadis yang maqbûl yang menceritakan bahwa Nabi saw pernah mengimami seorang perempuan yang bukan istri dan mahramnya,[7] juga karena hal ini sama dengan berkhalwat yang dilarang Nabi saw (Muttafaq ‘alayh). Inilah pendapat mayoritas ulama. Tapi kalau seorang istri –misalnya--, berma’mum pada suaminya sendiri dan tidak ada jamaah lainnya, maka posisinya berada di sebelah kanan suaminya yang menjadi imam dengan dasar posisi ma’mum satu orang adalah di sebelah kanan imam, atau boleh juga di belakangnya dengan dasar shaf perempuan adalah di belakang shaf laki-laki. Pendapat kedua ini dipegangi oleh mayoritas ulama. Yang jelas, jangan di kirinya karena tidak ada satupun dalil yang menuntunkan bahwa posisi ma'mum istri satu orang berada di sebelah kiri suaminya.

Adakah Tuntunan Shalat Jama’ah Berantai/Bersambung setelah Imam Salam?

Jika ada beberapa ma’mum masbûq setelah imam salam, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat salah seorang imam di antara sesama ma’mum masbuq untuk membangun jamaah baru sehingga menjadi jamaah berantai. Menurut ulama Hanafiyyah: tidak sah mengangkat imam untuk menyempurnakan sisa rakaat shalatnya. Malikiyyah juga demikian jika yang masbuq masih mendapat rakaat bersama imam. Namun jika tidak mendapat rakaat, maka boleh mengangkat imam. Adapun Syâfi’iyyah dan Hanâbilah menyatakan boleh mengangkat imam baru untuk menyelesaikan kekurangan rakaatnya, dan boleh juga shalat sendiri-sendiri, asal bukan masbuq dalam shalat Jum’at.[8] Hanya saja, dari berbagai pendapat ulama tersebut, penulis belum menemukan hadis yang secara khusus membicarakan adanya kasus mengangkat imam baru dari sesama ma’mum masbuq. Yang ada hadisnya adalah: وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا : “dan apa yang terlewatkan olehmu, maka tinggal kamu sempurnakan” (Muttafaq ‘alayh), tanpa menyebutkan anjuran untuk menyambung jama’ah lagi. Oleh karena ini termasuk bagian ibadah mahdlah yang aturannya menunggu perintah/tuntunan, maka jika sesama ma’mum masbuq tersebut masih mendapatkan rakaat/ruku’ bersama imam sebelumnya, maka sebaiknya ia menyempurnakan sisa rakaat yang terlewatkan secara sendiri-sendiri tanpa perlu mengangkat imam baru di antara sesama mereka. Tetapi jika ada ma’mum masbuq yang benar-benar terlambat dan sama sekali tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam sebelumnya (penulis menyebutnya: masbuq murni), maka hendaknya tetap mengupayakan berjamaah, baik dengan mengangkat seorang imam dari salah satu jamaah masbuq sebelumnya, ataupun membangun jamaah baru dengan sesama jamaah yang sama sekali tidak mendapatkan jamaah. Hal ini karena Nabi saw ketika telah selesai shalat jamaah bersama para sahabat, beliau melihat ada seorang yang masuk masjid dan tidak lagi mendapatkan jamaah shalat. Mengetahui hal ini, maka Nabi saw menawarkan pada para sahabat yang mau sedekah jamaah pada orang yang ketinggalan jamaah:
مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ ؟ فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَصَلَّى مَعَهُ.
“Siapa yang mau bersedekah jamaah dengan orang ini? Maka seseorang dari kaumnya berdiri lalu shalat berjamaah dengannya.” (HSR. Ahmad, 3/45: 11428; Abu Dâwud, 1/157: 574; al-Bayhaqi & Ibn Hibbân, dari Abu Sa’îd al-Khudri ra.)

Penawaran untuk melakukan sedekah jama’ah karena mengingat perbedaan derajat pahala jamaah sangat siginifikan (yakni antara 25 s.d 27 derajat) dari pada shalat sendirian. Maka Nabi saw menunjukkan empatinya pada sahabat yang sudah bersusah payah mendatangi jamaah, namun ternyata jamaah shalat sudah selesai, tidak ada lagi yang tersisa. Tetapi kalau masih menemukan jamaah shalat yang masbuq, maka Nabi saw tidak menawarkan untuk sedekah jamaah sehingga cukup berma’mum pada salah seorang jama’ah tersebut dan berdiri di sebelah kanannya bila ia berma’mum sendirian. 

Bolehkah Berma’mum pada Orang yang Shalat Sunnat?

Sebenarnya boleh berma’mum pada orang yang shalat sunnat. Ini didasarkan pada riwayat Jâbir ra bahwa:
أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْعِشَاءَ الآخِرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ فَيُصَلِّى بِهِمْ تِلْكَ الصَّلاَةَ
“Sesungguhnya Mu’âdz bin Jabal shalat ‘Isyâ’ yang akhir bersama Nabi saw, kemudian kembali ke kaumnya lalu shalat bersama mereka dengan shalat itu juga.” (HSR. Muslim, 2/42: 1070; al-Tirmidzi, al-Nasâ’i)

Melihat redaksi di atas, tampaknya Mu’âdz kembali ke kaumnya untuk memimpin shalat jamaah di kaumnya setelah shalat berjamaah dengan Rasulullah saw. Itulah sebabnya hadis ini dijadikan oleh sebagian ulama sebagai dalil bolehnya berma’mum pada orang yang shalat sunnat. Hadis di atas juga mengajarkan kita supaya senantiasa mengupayakan shalat berjamaah, dan --yang penting-- upayakan tidak membangun jamaah baru, apalagi shalat sendirian, bila ada jamaah yang sedang shalat.



                [1] Al-Bukhâri, 1/40: 117, 1/47; Muslim, 2/178: 1824, 2/179: 1827, 2/183: 1841. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa Nabi saw memegang kepala Ibn ‘Abbâs, sebagiannya lagi menyebutkan memegang telinga kanannya lalu ditarik lewat belakang pindah ke sebelah kanannya, dan ada juga yang menyebutkan Nabi saw memegang lengan atasnya lalu memindahkan ke kanannya.
[2] HSGR: Hadis sahih gharîb riwayat Ahmad, 1/330: 3061 & al-Bayhaqi, Syu‘ab., 3/102, melalui Hâtim bin Abi Shaghîrah dari ‘Amr bin Dînâr dari Kurayb (mawlâ Ibn ‘Abbâs, w 98 H) dari Ibn ‘Abbâs. Al-Arnâ’ûth menilai hadis ini sahih sesuai syarat al-Syaykhâni (yakni: al-Bukhari & Muslim), meskipun tidak disepakati keduanya. Memang para periwayat tersebut secara perseorangan digunakan oleh al-Bukhâri & Muslim, namun tidak dengan rangkaian periwayat (sanad) tersebut. Hâtim bin Abi Shaghîrah --meskipun kritikus pada umumnya menilainya kuat--, namun Abu Hâtim al-Râzi memberikan catatan tambahan bahwa hadisnya hanya shâlih/cukup baik (peringkat ta‘dîl ke-6). Al-Hâkim, 3/615: 6279, juga meriwayatkan hadis ini tapi melalui Abi Kurayb dari Ibn ‘Abbâs, padahal ‘Amr bin Dînâr (w. 184 H) mustahil meriwayatkan dari Abu Kurâyb yang wafat 248 H.
[3] Al-Syawkâni, Nayl al-Awthâr, 3/174; al-Shan‘âni, Subul al-Salâm, 2/31; Muhammad Shâlih al-Munjid, Fatâwâ al-Islâm., 1/1181; Khâlid bin ‘Abd al-Mun‘im al-Rifâ‘i, Fatâwâ Mawqi‘ al-Alûkah, Bab Taqaddum al-Imâm, hlm 1-3, Fatwa no: 2215.
[4] Ketika ‘Abdullah bin ‘Utbah berma’mum di belakang ‘Umar bin al-Khaththâb, maka ‘Umar menariknya ke sebelah kanannya. Tatkala Yarfâ datang, iapun mundur lalu berbaris di belakangnya (فَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ. HR. Malik, 1/154: 360). Ada HR. Ahmad (3/326: 14536) & Ibn Khuzaymah (3/18: 1535) dari Jâbir yang berbunyi: فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ : “Lalu kami pun berbaris di belakangnya”, namun sanad hadis ini daif karena melalui Syurahbîl bin Sa‘ad.  
[5] Jâbir ra menceritakan bahwa ia pernah berma’mum pada Rasulullah saw sendirian dan berdiri di sebelah kiri beliau. Saat itu Rasulullah saw menariknya pindah ke sebelah kanan beliau. Lalu datang Jabbâr bin Shakhr berdiri di kiri beliau, فَأَخَذَ رسولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتىَّ أَقَامَنَا خَلْفَهُ : “maka Rasulullah saw memegang tangan kami lalu mendorong kami sehingga kami berdiri di belakang beliau.” (HSR. Muslim, 8/232: 7705; Abu Dâwud, al-Hâkim dan al-Bayhaqi). Ada HR. Ibn Khuzaymah (3/18: 1536) dan al-Thabrâni (al-Awsath, 8/375: 8918), dari Jâbir bahwa ketika Jabbâr datang menyusul dan berdiri di kiri Rasulullah saw, فَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : maka Rasulullah saw maju”. Hanya saja kedua riwayat ini bermasalah, yakni Ibn Khuzaymah karena melalui Sa‘îd bin Abi Hilâl yang mukhtalith (kacau hapalannya), sedangkan al-Thabrâni karena melalui Ibn Lahî‘ah yang juga kacau hapalannya setelah kitab-kitabnya terbakar.
                [6] Hadis daif dan mawdlû‘ riwayat al-Thabrâni, al-Mu‘jam al-Awsath, juz 7 hlm 374, no: 7764:   إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّفِّ وَقَدْ تَمَّ فَلْيَجْذِبْ (فَلْيَجْبِذْ) إِلَيْهِ رَجُلاً يُقِيْمُهُ إلَى جِنْبِهِ: “Apabila salah seorang terhenti untuk masuk shaf (depan) karena telah penuh, maka hendaklah menarik seorang pada shaf tersebut (ke belakang) untuk berdiri di sampingnya.” Hadis ini sangat lemah, termasuk hadis munkar karena ada periwayat Bisyr bin Ibrâhim al-Anshâri si pendusta dan pemalsu hadis. (Lihat al-Haytsami, Majma‘.,2/259: 2537) Lebih rinci tentang Bisyr bin Ibrâhîm, lihat Ibn al-Jawzi, al-Mawdlu‘ât, juz 2/266 dan juz 3/124; Ibn Abi Hâtim, al-Jarh., 2/351; Mahmûd Zâyid, al-Majrûhîn Ibn Hibbân, 1/189; Ibn ‘Addi, al-Kâmil fi al-Dlu‘fâ’, 2/13-14; al-‘Uqayli, al-Dlu‘afâ’., 1/142; Ibn Hajr, Lisân al-Mîzân, 2/18-20. 
[7] Ada hadis yang menceritakan bahwa: كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءُ مِنْ أَحْسَنِ النَّاس...: ”Pernah ada seorang perempuan paling cantik shalat di belakang Nabi saw...” (HR. Al-Tirmidzi, 5/296: 3122; al-Nasâ’i, 2/118: 870; Ibn Mâjah, 2/161: 1046; Ibn Hibbân, 2/126: 401; Ahmad, 1/305: 2784 dengan lafal: امْرَأَةٌ حَسْنَاءُ). Tetapi karena melalui ’Amr bin Mâlik al-Nukrâ (w. 129 H) yang daif hafalannya & banyak kesalahannya, hadisnya sangat asing/gharîb dan munkar karena melecehkan sahabat yang mengintip wanita cantik tersebut dari bawah ketiaknya saat ruku’ maka hadis ini ditolak sebagai hujjah. Demikian penilaian Ibn ’Addi, Abu Ya’la & Ibn Katsîr. (Ibn ’Addi, al-Kâmil fi al-Dlu’afâ’, 5/150; al-Dzahabi, Mîzân, 3/285: 6435; ). Tapi anehnya, al-Albâni menilainya sahih, sedangkan al-Arna’ûth --meskipun awalnya menilainya hasan dalam Shahîh Ibn Hibbân-- namun akhirnya meralatnya menjadi daif dalam Musnad Ahmad yang ditahqiqnya (Lihat Musnad Ahmad, penerbit: al-Risâlah, juz 5/5: 2785).
[8] Lihat al-Jazayri, al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 1/656.
Adab Berbicara : BERBICARALAH BAIK ATAU DIAM

Adab Berbicara : BERBICARALAH BAIK ATAU DIAM

BERBICARALAH BAIK ATAU DIAM
Oleh : Agus Sukaca
 
 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
 
Dari Abu Hurairah, bersabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya. Dan siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berbicaralah yang baik atau diamlah(HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
 
Arti bicara antara lain pertimbangan pikiran atau pendapat. Padan kata berbicara adalah berkata, bercakap, berbahasa. Bicara dilakukan dengan menggunakan bahasa. Bahasa merupakan salah satu dasar hakiki intelegensia manusia dan merupakan bagian penting dari kebudayaan manusia. Berbicara merupakan cara mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiran seseorang kepada orang lain dan menggambarkan apa yang ada dalam pikiran seseorang. 
 
Pusat bicara terletak di Area Broca, sebuah area yang terletak di otak bagian depan (lobus frontalis).  Area Broca ini mengolah informasi yang datang dari Area Wernicke (suatu area di otak yang berperan dalam pemahaman informasi penglihatan dan pendengaran) menjadi pola yang terinci dan terkoordinasi untuk vokalisasi, lalu memproyeksikan pola tersebut melalui area pengucapan kata ke korteks motorik (suatu area yang juga terletak di otak) yang mencetuskan gerakan bibir, lidah, kerongkongan yang tepat untuk menghasilkan suara.

Kualitas bicara seseorang sangat bergantung kepada: (1) memory (ingatan), (2) bagaimana ia belajar, dan (3) apa yang dipelajari. Belajar merupakan proses mendapatkan informasi yang memungkinkan suatu hal terjadi. Mengingat adalah mempertahankan dan menyimpan informasi tersebut.
 
Dari segi fisiologi,  memory dibagi menjadi bentuk tersurat dan tersirat. Memori tersurat berhubungan dengan kesadaran sehingga sering disebut sebagai otak sadar. Memori ini terdiri atas: (1) ingatan akan peristiwa (episodic memory), dan (2) ingatan akan kata-kata, peraturan-peraturan, bahasa, dan lain-lain (semantic memory). Memori tersirat tidak berhubungan dengan kesadaran, disebut juga memori refleksif atau otak bawah sadar. Termasuk di sini adalah kemahiran melakukan sesuatu dan kebiasaan. 
 
Kemahiran melakukan sesuatu dan kebiasaan seseorang, pada awalnya berada dalam memori tersurat. Kegiatan mengendarai sepeda motor misalnya, pada awal belajar dilakukan oleh memori tersurat, dan akan menjadi memori tersirat bila telah cukup mahir. Kegiatan seseorang melakukan shalat tahajud secara tidak rutin, dilakukan oleh memori tersurat (otak sadar), dan menjadi memori tersirat bila telah menjadi kebiasaan setiap malam. Kemahiran dan kebiasaan biasanya sekali didapat akan menjadi tidak disadari dan otomatis. 
 
Proses pemindahan dari memori tersurat (otak sadar) ke dalam memori tersirat untuk amalan-amalan yang baik memerlukan perjuangan berat dalam waktu cukup panjang. Ada ahli yang menyatakan, amalan tersebut harus dilakukan pengulangan sekurang-kurangnya 90 hari berturut-turut. Membangun kebiasaan baik ibarat orang mendorong mobil di tempat datar. Berat pada awalnya, tetapi bila telah mencapai kecepatan tertentu yang diharapkan, lebih sulit menghentikannya dibandingkan menjaga kecepatannya. Begitulah karakter kebiasaan, lebih mudah mempertahankan dibandingkan menghentikannya.

Orang yang memiliki kebiasaan-kebiasaan baik, ia akan menjadi orang baik. Kebiasaan belajar, membuat orang pintar. Kebiasaan memberi menjadikannya dermawan. Kebiasaan selalu bicara baik, menjadikannya orang terpercaya. Sebaliknya, kebiasaan-kebiasaan tidak baik, akan menjadikan seseorang menjadi tidak baik. Kebiasaan malas belajar, menjadikannya tetap bodoh. Kebiasaan sulit memberi, menjadikannya orang pelit. Kebiasaan berbohong, menjadikannya pendusta dan tidak disukai orang. Pendeknya, kita akan menjadi apa bergantung dari kebiasaan-kebiasaan yang kita bangun. Pada awalnya kitalah yang membangun kebiasaan, tetapi selanjutnya kebiasaanlah yang akan membentuk kita. 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْلَفُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ خَيْرَ الْعَمَلِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
Rasulullah SAW bersabda:
“Laksanakanlah oleh kalian amalan semampu kalian, sesungguhnya sebaik-baik amalan adalah yang dikerjakan terus menerus (menjadi kebiasaan)  meskipun sedikit” (HR Ibnu Majah)

Secara tersirat, hadits di atas memotivasi kita untuk membangun kebiasaan sedikit demi sedikit. Dalam hal berbicara, Allah memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada orang-orang yang mampu berbicara baik tanpa dipikir panjang lagi, sebagaimana terseut dalam Hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رُضْوَانِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
Dari Abi Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba yang berbicara dengan kata-kata yang diridhai Allah ’Azza wa Jalla tanpa berpikir panjang, Allah akan mengangkatnya beberapa derajat dengan kata-katanya itu. Dan seorang hamba yang berbicara dengan kata-kata yang dimurkai Allah tanpa berpikir panjang, Allah akan menjerumuskannya ke neraka Jahannam dengan kata-katanya itu”.(HR Bukhari, Ahmad, dan Malik)

Orang disebut baik kalau kebiasaan-kebiasaannya baik, termasuk di dalam berbicara. Kebiasaannya berbicara baik sudah masuk ke dalam memori tersirat (otak bawah sadar), sehingga tanpa dipikir-pikir panjangpun, yang keluar dari lisannya selalu baik. Keadaan ini merupakan hasil proses pembinaan diri jangka panjang. Allah sangat menghargai perjuangan seseorang membiasaan berbicara baik –yang tentunya diridhai-Nya - dengan senantiasa meningkatkan derajatnya. 
 
Sebaliknya, orang yang memiliki kebiasaan berbicara buruk, misalnya suka mencaci, mencela, mengutuk, berghibah, membicarakan aib sahabatnya, dan berkata-kata kotor –kata-kata yang membuat murka Allah-  ia telah melakukannya dengan kendali otak bawah sadar. Keadaan seperti ini terjadi karena ia tidak berusaha menghentikannya dan selalu saja membiarkan keluar dari lisannya. Orang ini telah mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berbicara baik. Pengabaian yang berulang-ulang hingga membentuk kebiasaan pada hakekatnya adalah bentuk keingkaran yang telah terbiasa dilakukannya. Oleh karena itu, Allah menjerumuskan ke neraka Jahanam dikarenakan kebiasaan ingkarnya tersebut.
 
Apa yang dipelajari oleh seseorang melalui penglihatan dan pendengarannya, membentuk tata nilai yang ia yakini. Tatanilai tersebut membentuk prosedur baku dalam otak yang berfungsi sebagai processor atas segala masukan informasi penglihatan, pendengaran, dan perasaan hatinya. Keluaran dari processor tersebut berupa kata-kata yang diucapkan, ekspresi wajah, sikap, dan tindakan.
 
Apabila seseorang banyak melihat, mendengar, dan merasakan sesuatu yang negatif, maka yang masuk dalam memorinya adalah hal-hal negatif, tatanilai yang terbentuk dan diyakininya juga menjadi negatif. Akibatnya ia akan mudah bicara dan bertindak negatif. Hendaknya tidak membiarkan diri dan keluarga kita melihat dan mendengar hal-hal yang negatif secara langsung maupun melalui media seperti tv, radio, dunia maya, media cetak dan sebagainya. 
 
Sebaliknya, apabila seseorang banyak belajar dengan melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal positif, tatanilai yang terbentuk dan diyakininya positif. Selanjutnya ia akan mudah berbicara dan bertindak positif. Hendaknya kita membiasakan diri dan keluarga kita melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang positif.
Bila di hadapan anda disajikan 2 jenis makanan, yang satu berasal dari rumah makan yang terkenal sehat, bersih dan lezat masakannya, sementara lainnya berasal dari makanan sisa dari tempat sampah, manakah yang akan anda pilih? Orang yang sehat akalnya pasti memilih yang pertama. Ia tahu konsekuensinya makan makanan sisa dari tempat sampah dapat membuat badannya sakit. Sayangnya, banyak yang memberikan makanan kepada otaknya berupa informasi-informasi sampah melalui penglihatan, pendengaran, dan perasaan hatinya. 
 
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya” (QS Al Isra: 36)
 
Sebagaimana tersebut dalam Hadits yang dikutip pada awal tulisan ini, Rasulullah  mempersyaratkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menjaga lisannya agar ketika megeluarkan kata-kata hanya kata-kata yang baik. Apabila ada dorongan dari dalam dirinya untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak baik karena sesuatu hal, misalnya sedang marah, dikecewakan orang, didzalimi orang, atau sebab-sebab lainnya, ia harus menyimpannya dalam hati dengan diam, meskipun untuk itu ia harus berjuang keras. Itu semua bisa terjadi karena tatanilai yang tertanam dalam memorinya melarangnya berkata-kata yang tidak baik dan hanya membolehkan berbicara yang baik. 
 
Dengan mengetahui bagaimana proses seseorang memiliki kebiasaan berbicara, kita jadi lebih mudah memahami konteks Hadits Rasulullah, bahwa orang yang beriman hanya akan bicara baik atau diam. 
 
Rasulullah mengajarkan kita untuk menjaga mulut, organ yang berfungsi mengkomunikasikan apa-apa yang ada dalam pikiran kita.
قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَوَكَّلَ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ تَوَكَّلْتُ لَهُ بِالْجَنَّةِ
Rasulullah SAW bersabda:
 “Barangsiapa yang dapat menjamin untukku lisan dan kemaluannya, aku akan menjamin surga untuknya” (HR Ahmad)
 
dengan mengatur bagaimana seharusnya kita berbicara, secara tidak langsung kita membangun tatanilai yang kita yakini, dan mengatur masukan informasi apa yang kita berikan ke otak agar berfungsi positif.
Bagaimana bicara baik, dan bicara yang bagaimana yang harus kita hindari sehingga harus diam?
Berbicara baik menurut Rasulullah Muhammad SAW adalah yang:
  1. ·         Diiringi dengan senyum
  2. ·         Banyak disertai Kalimah Thayyibah
  3. ·         Seperlunya
  4. ·         Mendahulukan yang lebih tua
  5. ·         Perlahan-lahan
  6. ·         Merendahkan suara
Yang harus kita hindari adalah:
  1. ·         berbohong
  2. ·         Banyak bicara
  3. ·         Ghibah dan namimah
  4. ·         Menceritakan apa saja yang didengar
  5. ·         Berkata-kata kotor
  6. ·         Suka berdebat
  7. ·         Membuat pendengar tertawa dengan sesuatu yang dusta
  8. ·         Membuka aib saudara
  9. ·         Membuka rahasia yang anda diminta merahasiakan
  10. ·         Suka memotong pembicaraan