Usaha
untuk mewujudkan diri menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya
tidak dapat dilakukan dengan cara instan. Dalam usaha ini, seseorang
harus melaksanakan upaya-upaya pembenahan diri secara terus-menerus.
Karena itu, prosesnya sangatlah panjang. Salah satu faktor penting dalam
mewujudkan Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya adalah keberhasilan
seseorang dalam membiasakan amalan-amalan yang melekat pada dirinya
sehingga menjadi ciri-ciri atau identitas pribadinya.
Hanya
saja, dengan tanpa disadari, kita telah banyak melewatkan waktu-waktu
berharga untuk menjalani kebiasaan-kebiasaan positif setiap hari.
Padahal, kebiasaan merupakan aktivitas yang dilakukan berulang-ulang sehingga pusat kendalinya bergeser dari otak sadar ke bawah sadar. Aktivitas yang berada dalam kendali otak sadar perlu energi yang lebih besar. Sedangkan, aktivitas yang berada dalam kendali otak bawah sadar lebih ringan melakukannya dan energi yang diperlukannya juga lebih sedikit.
Bagaimanapun, kepribadian dan kualitas diri seseorang dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Apabila
kebiasaan-kebiasaan seseorang itu terbentuk oleh lingkungan di mana ia
berada, maka secara otomatis ia membentuk dirinya sebagaimana kebanyakan
orang-orang yang ada di lingkungannya. Tentu sangatlah beruntung
apabila ia berada di tengah-tengah orang-orang shaleh. Sebab, ia dapat
memiliki kebiasaan-kebiasaan yang menjadi ciri-ciri orang shaleh. Namun, apabila
ia berada di lingkungan orang-orang yang kurang peduli kepada tuntunan
agama, maka kebiasaan yang akan terbangun tentu juga akan jauh dari
tuntunan agama.
Perlu diketahui bahwa situasi dan kondisi dunia
tempat kita tinggal sekarang ini jauh berbeda dengan beberapa tahun yang
lalu. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah merubah dunia menjadi semakin terasa kecil. Sekat-sekat geografis telah mencair. Dunia semakin tak berbatas, datar dan tidak bulat lagi. Lingkungan pergaulan semakin majemuk. Adanya facebook, twitter dan teknologi internet lainnya telah menjadikan lingkungan pergaulan mampu menjangkau orang di mana saja dan kapan saja. Boleh jadi, seseorang telah bersahabat dengan orang yang tinggal dengan jarak ribuan kilometer. Mereka dapat berkomunikasi secara efektif, tetapi tidak mengenal siapa yang tinggal di sebelah rumahnya masing-masing.
Kemajemukan lingkungan
pergaulan dengan latar belakang yang berbeda-beda di satu sisi bisa
memperluas wawasan seseorang, tetapi di sisi lain bisa menimbulkan
bahaya. Oleh karena itu, kita
harus cerdas memilih lingkungan pergaulan yang sesuai dengan keyakinan
dan cita-cita kita. Kalau bercita-cita menjadi orang sukses, kita harus
mencari teman-teman yang sukses. Apabila ingin pintar, bertemanlah dengan orang-orang pintar. Apabila ingin berani, bergaulah dengan pemberani. Apabila ingin jujur, bergaulah dengan orang-orang jujur. Salah satu cara untuk melihat bagaimana keadaan seseorang dapat dilakukan dengan melihat siapa saja yang menjadi teman-teman dekatnya.
Pilihan-pilihan tersebut tentu berada di tangan kita masing-masing. Kita tidak boleh menyerahkan diri untuk mengikuti kebiasaan orang-orang kebanyakan. Adalah suatu “kegilaan” seseorang yang mengharapkan sukses tetapi melaksanakan hal-hal seperti
yang dilaksanakan orang kebanyakan. Cita-cita sukses haruslah diikuti
dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang terbukti mampu membawa kesuksesan seperti yang telah dipraktikkan oleh orang-orang sukses lainnya.
Kalau mau menjadi orang pintar, kita harus berkonsultasi dengan
orang-orang yang pintar dan melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Pastinya, mereka terbiasa belajar dan membaca!
Kalau kita mau jadi pengusaha sukses, berkonsultasinya dengan pengusaha
sukses, mengikuti petunjuk dan melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka. Kunci untuk mengetahui apa saja kebiasaan-kebiasaan sukses yang mereka lakukan, kita bisa berkonsultasi dengannya!
Lantas, bagaimana dengan cita-cita seseorang yang ingin menjadi penghuni surga? Syaratnya, ketika hidup di dunia kita mesti berjuang dan berproses menjadi “Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya”. Idealnya, seperti pribadi Rasulullah Muhammad SAW. Untuk itu, kita harus berkonsultasi dengan Beliau dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang telah dicontohkan. Persoalannya, kebiasaan-kebiasaan Rasulullah amatlah banyak. Lantas, dari mana kita mulai?
Sejalan dengan pertanyaan tersebut, terdapat pelajaran bagus dari seorang guru, sebagaimana dikemukakan John McGrath dalam bukunya “You Don’t Have to be Born Brilliant”. Seorang
guru mengeluarkan dari bawah bangkunya sebuah gelas kimia yang
tingginya 30 cm. Ia juga mengeluarkan beberapa batu besar berukuran
kepalan tangan. Dengan hati-hati, ia
masukkan satu persatu batu-batu tersebut sampai 10 buah. Ketika
memasukkan batu yang ke 11, gelas kimia tersebut tidak mampu memuatnya
dan batunya bergulir jatuh. Sang guru kemudian memandang murid-muridnya dan bertanya: “apakah menurut kalian gelas kimia ini sudah penuh?” Murid-murid pun mengangguk. Sebab, mereka melihat tidak ada celah lagi untuk memasukkan batu. Kemudian, guru tersebut
mengeluarkan ember berisi batu-batu kerikil seukuran kacang polong.
Pelan-pelan ia tuang kerikil tersebut ke dalam gelas kimia, sampai tidak
ada lagi ruangan tersisa di antara batu-batu besar.
Setelah itu, pertanyaan yang sama diajukan sang guru kepada murid-muridnya dan mereka mengangguk. Setelah mendengar jawaban itu, sang guru mengeluarkan ember berisi pasir. Ia menuang pasir di antara kerikil dan batu-batu besar sampai ruangan yang tersisa menjadi penuh.
Para murid heran akan daya tampung gelas kimia tersebut dan bingung
bagaimana menjawab pertanyaan guru mereka selanjutnya: “apakah gelas kimia ini sekarang sudah penuh?” Sebelum mereka mampu menjawab, sebuah botol berisi air dikeluarkan dari bawah bangku dan dituangkan ke dalam gelas kimia di antara batu, kerikil dan pasir. Sang guru tersenyum dan berkata bahwa demonstrasinya telah usai. “Sekarang beritahu saya, pelajaran apa yang bisa dipetik dari latihan ini?”.
Seorang murid dengan antusias menjawab: “guru, saya belajar bahwa seringkali kita bisa memasukkan jauh lebih banyak daripada yang kita kira sebelumnya”. “Jawaban bagus! Tetapi
ada pelajaran lain yang saya ingin kalian temukan!” Para murid berpikir
keras, sampai akhirnya ada seorang yang menjawab: “guru, pelajaran yang bisa saya ambil adalah jika kita tidak menaruh batu-batu besarnya terlebih dahulu, kita takkan mampu memasukkan benda lainnya. Jadi pelajaran buat saya adalah menaruh batu besarnya dahulu”. Mendengar jawaban itu, sang guru tersenyum dengan perasaan sangat bangga. “Kalian pintar. Memang itulah pelajaran yang ingin saya berikan”.
Melihat pelajaran tersebut di atas, lantas kebiasaan-kebiasaan apa saja yang menjadi “batu-batu besar” dalam proses menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya? Terkait dengan hal ini, kami tawarkan sembilan (9) kebiasaan menjadi “batu-batu besar” kita dalam mewujudkan diri menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya. Kami sering menyebut sembilan (9) kebiasaan ini sebagai “The Nine Golden Habbits”. Kesembilan kebiasaan tersebut adalah: pertama, kebiasaan Shalat; (a) Shalat Wajib di awal waktu dan berjamaah diiringi shalat sunnah Rawatib; (b) Shalat Tahajud (lail) di setiap sepertiga malam terakhir; dan (c) Shalat Dhuha setiap pagi.
Kedua, kebiasaan Puasa, di samping melaksanakan puasa Ramadhan juga membiasakan berpuasa Sunnah. Ketiga, kebiasaan berzakat, infaq dan shadaqah (ZIS), senantiasa mengeluarkan lebih dari 2,5% dari total pendapatan untuk ZIS. Keempat, kebiasaan membaca al-Qur’an: senantiasa membaca al-Qur’an pada waktu-waktu tertentu, misalnya: sehabis maghrib, menjelang subuh, ba’da shubuh dan lain-lain serta mengkhatamkannya minimal 1 kali dalam sebulan. Kelima, kebiasaan membaca buku lebih dari 1 jam setiap hari. Keenam, kebiasaan beradab Islami dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Ketujuh, kebiasaan mengaji dan berada dalam komunitas orang shaleh lebih dari sekali dalam seminggu. Kedelapan, kebiasaan berkata baik, beramal shaleh dan memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Kesembilan, kebiasaan berpikir positif dan murah senyum. (Dr H Agus Sukaca MKes)