Dakwah dan Pencerahan Ummat

SMP MUTIARA

SMP MUTIARA
Tampilkan postingan dengan label TARJIH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TARJIH. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Maret 2014

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL

Pertanyaan:
1.    Mohon penjelasan menurut al-Qur’an dan al-Hadits tentang kawin hamil.
2. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil, status anaknya dan siapa yang menjadi wali (seandainya anaknya perempuan), jika di kemudian hari ia melakukan akad nikah?
Jawaban:
Ada dua pendapat tentang hukum mengawini perempuan yang sedang hamil, sedang ia tidak mempunyai suami.
Pendapat pertama menyatakan, boleh mengawini perempuan yang sedang hamil yang tidak mempunyai suami, apakah yang mengawini laki-laki penyebab kehamilan itu atau bukan, asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Alasan mereka ialah tidak ada nash (al-Qur’an dan al-Hadits) yang melarangnya, atau dengan kata lain bahwa perempuan hamil tidak termasuk dalam kategori perempuan yang terhalang seorang laki-laki mengawininya.
Pada ayat 24 surat an-Nisa’, - setelah menyebutkan perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu ayat 22, 23, dan 24, -  Allah Swt menegaskan bahwa dibolehkan seorang laki-laki mengawini perempuan-perempuan lain selain yang telah disebutkan. Allah Swt berfirman:
... وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ ... [النسآء: (4): 24].

Artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” [QS. an-Nisa’ (4): 24].
Pada ayat-ayat yang lain disebutkan perempuan-perempuan lain selain yang tersebut pada ayat 22, 23, dan 24 di atas yang haram dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu perempuan musyrik [al-Baqarah (2): 221], perempuan dalam masa iddah sedang ia masih mengalami masa haidl [al-Baqarah (2): 228], perempuan yang telah di talak tiga kali oleh suaminya, ia haram dikawini bekas suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya [al-Baqarah (2): 230], perempuan yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia [al-Baqarah (2): 235], perempuan yang tidak mempunyai masa haidl lagi dan perempuan dalam masa iddah karena hamil [ath-Thalaq (65): 4], mengawini wanita sebagai istri kelima [an-Nisa’ (4): 3], dan perempuan musyrik [an-Nur (24): 3]. Hadits menyatakan bahwa dilarang seorang laki-laki mengumpulkan sebagai istri seorang perempuan dengan saudara perempuan bapaknya atau seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya.
Ayat-ayat dan hadits di atas merupakan tambahan (ziyadah) terhadap perempuan-perempuan yang haram dikawini yang telah disebutkan pada ayat 22, 23, dan 24 surat an-Nisa’. Ziyadah nash yang qath‘iyyuts-tsubut terhadap nash yang qath‘iyyuts-tsubut dibolehkan. Pada ayat-ayat dan hadits tersebut tidak terdapat perempuan hamil yang tidak mempunyai suami. Karena itu mereka berpendapat bahwa boleh menikahi wanita hamil yang tidak mempunyai suami asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa perempuan hamil tidak boleh dikawini kecuali oleh laki-laki yang menyebabkan kehamilannya atau oleh bekas suaminya. Alasan mereka sebagai berikut:
Bila seorang istri yang masih mengalami masa haidl ditalak oleh suaminya, hendaklah ia menunggu tiga kali quru’ (kata quru’ dapat berarti suci atau haidl). Selama masa iddah itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain [al-Baqarah (2): 228]. Lanjutan ayat ini menerangkan hikmah larangan itu, yaitu agar diketahui dengan jelas apakah bekas istri mengandung atau tidak. Selanjutnya dinyatakan bahwa bekas suami boleh rujuk dalam masa iddah ini jika ia menghendaki ishlah. Dari lanjutan ayat ini dipahami bahwa kebolehan bekas suami rujuk kepada bekas istrinya dalam masa iddah ini adalah karena seandainya bekas istri dalam keadaan hamil tidak ada masalah terhadap anak yang dikandungnya. Dengan demikian akan terjaga kepentingan anak di kemudian hari terutama yang berhubungan dengan nafaqah, pengasuhan, pendidikan dan hak waris dari si anak. Lengkapnya firman Allah Swt itu ialah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا ... [البقرة (2): 228].

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah ...” [QS. al-Baqarah (2): 228].
... وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ...

Artinya: “…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya …” [QS. ath-Thalaq (65): 4].
Jika ayat 4 surat ath-Thalaq ini dihubungkan dengan ayat 228 surat al-Baqarah di atas maka dapat pula diambil kesimpulan bahwa perempuan dalam masa iddah masa hamil boleh dirujuki (atau dikawini) oleh bekas suami yang telah mencerainya.
Untuk menetapkan hukum perkawinan wanita hamil dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya dapat dilakukan qias, yaitu dengan mengqiaskannya kepada perkawinan (rujuk) bekas suami dengan bekas istrinya yang sedang hamil yang sedang dalam masa iddah. Laki-laki yang menghamili perempuan itu dapat disamakan dengan laki-laki yang merujuki istrinya dalam keadaan hamil. Perempuan yang dalam keadaan hamil dapat disamakan dengan wanita yang dalam iddah karena hamil, demikian pula sperma yang dikandung oleh kedua perempuan yang sedang hamil itu adalah sperma dari laki-laki yang menyebabkan kehamilannya, sehingga faraj kedua wanita itu adalah tempat menyemaikan benih dari kedua laki-laki itu. Faraj perempuan yang sedang ditaburi benih seorang laki-laki tidak boleh ditaburi benih laki-laki lain, berdasarkan hadits:
عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ افْتَتَحَ حُنَيْنًا فَقَامَ فِينَا خَطِيبًا فَقَالَ لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ ... [رواه أحمد].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ruwaifi‘ ibn Tsabit al-Anshariy, ia berkata: Aku pernah bersama Nabi saw padaperang Hunain, beliau berdiri di antara kami dan berpidato: Dilarang seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menumpahkan airnya (maninya) di atas kebun orang lain …” [HR. Ahmad].
Berdasarkan keterangan di atas, maka Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam menganut pendapat kedua ini, yaitu perempuan hamil yang tidak mempunyai suami dilarang melakukan akad nikah, kecuali dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya. Hal ini sesuai dengan kesimpulan pendapat yang berkembang pada Seminar Majelis Tarjih se-Jawa yang berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1986.
Perlu diketahui bahwa pertanyaan serupa pernah pula dijawab oleh Tim Fatwa, dan jawabannya dapat saudara baca pada buku Tanya Jawab Agama Jilid I halaman 149 Cetakan VII tahun 2003 dan Tanya Jawab Agama Jilid III halaman 180 Cetakan III tahun 2004. Wallahu a’lam bish-shawwab. *km)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid 
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
HUKUM MENCUKUR BULU ALIS

HUKUM MENCUKUR BULU ALIS



Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
  setahu saya kalau mencukur alis sampai habis itu menurut Islam tidak boleh ya...? Apa dasar hukumnya? Apakah sama hukumnya dengan merapikan alis (mencukur sebagian alis mata) agar terlihat lebih rapi? Mohon penjelasannya.
Mohon maaf apabila ada tulisan yang kurang berkenan. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan saudari Maya, perlu kami sampaikan bahwa apa yang ditanyakan adalah salah satu dari beberapa larangan khusus bagi perempuan. Dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa Allah melaknat perempuan yang membuat tato dan perempuan yang minta dibuatkan tato, perempuan yang minta dicabutkan bulu alisnya, perempuan yang menghias giginya, dan perempuan yang merubah ciptaan Allah.
Adapun hadits yang melarang perbuatan-perbuatan tersebut adalah sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ . [رواه البخارى: اللباس: المشتوشمة]

Artinya: "Diriwayatkan dari Abdullah ra, Allah melaknat perempuan yang membuat tato dan orang yang minta dibuatkan tato, orang yang minta dicabutkan bulu alisnya, orang-orang yang menghias giginya untuk mempercantik dirinya, dan orang yang mengubah ciptaan Allah." [HR. al-Bukhari]

Juga Allah melaknat kepada perempuan yang menyambung rambutnya dan minta disambung rambutnya. Hal ini didasarkan pada hadits sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ. [رواه مسلم: اللباس والزينة: تحريم فعل الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة]

Artinya: "Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwasan Rasulullah saw melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang minta disambungkan rambutnya, perempuan yang membuat tato dan perempuan yang minta dibuatkan tato." [HR Muslim]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ مُبْتَغِيَاتٍ لِلْحُسْنِ مُغَيِّرَاتٍ خَلْقَ اللَّهِ. [رواه الترمذى: الأدب عن رسول الله: ماجاء فى الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة]

Artinya: "Diriwayatkan dari Abdullah ra., bahwa Nabi saw melaknat orang yang membuat tato dan orang yang minta dibuatkan tato, orang-orang yang meminta dicabutkan bulu alisnya untuk mempercantik dirinya, dan orang yang mengubah ciptaan Allah." [HR. at-Tirmidzi]

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ . [رواه أبو داود]

Artinya; "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Perempuan yag menyambung rambutnya dan perempuan yang minta disambungkan rambutnya, perempuan yang mencabut bulu alisnya dan perempuan yang minta dicabutkan bulu alisnya, perempuan yang membuat tato dan perempuan yang minta dibuatkan tato, dilaknat." [HR. al-Bukhari]

Dari keempat hadits di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang dilarang dilakukan oleh perempun, yaitu;
1.      Washilah (menyambung rambut)
2.      Mustaushilat (meminta disambungkan rambutnya)
3.      Wasyimah (membuat tato)
4.      Mustausyimat (memita dibuatkan tato)
5.      Mutafallijaat (menghias gigi agar cantik)
6.      Namishah (mencabut bulu alis)
7.      Mutanammishat (meminta utuk dicabut bulu alisnya)

Washilat artinya adalah perempuan yang menyambungkan rambut, baik rambutnya sendiri atau rambut orang lain, dan al-mustaushilat adalah perempuan yang meminta kepada orang lain agar menyambung rambutnya.  Al-Wasym yaitu memasukkan jarum ke dalam tubuh (kulit) untuk memasukkan zat yang berwarna sehingga timbul suatu gambar yang diinginkan pada tubuh (kulit), atau dengan kata lain membuat tato.

Adapun Namash  memiliki beberapa arti, yaitu; (1) menghilangkan rambut yang ada di wajah, (2)  mencabut  bulu alis agar lebih tinggi atau sama (3) mengerik bulu alis sampai tipis.

Al-Khattaby menjelaskan bahwa hadits-hadits di atas mengandung ancaman yang keras tentang perbuatan-perbuatan tersebut, dengan alasan;
1.      adanya unsur penipuan (al-ghasy dan al-khada')
2.      merubah ciptaan Allah

Di kalangan para ulama ada perbedaan tentang bolehkah mencabut atau mencukur  bulu selain bulu alis? Imam ath-Thabari berpendapat bahwa perempuan tidak boleh melakukan perubahan terhadap apa yang telah diciptakan baginya, baik dengan cara menguranginya maupun menambahkannya. Sedang imam an-Nawawi  mengecualikan dari pengertian an-Namash, yaitu menghilangkan bulu yang tumbuh di bawah bibir atau bulu kumis,  karena hal semacam ini tidak diharamkan bahkan sangat dianjurkan.

            Dengan memperhatikan keterangan di atas maka apa yang ditanyakan oleh saudari Maya, yaitu mencukur bulu alis baik sedikit maupun banyak dilarang dalam agama Islam, dan orang yang melakukan perbuatan seperti itu akan mendapat laknat Allah.

Wallahu a'lam bish-shawab. *A.56h)               

Sabtu, 08 Maret 2014

PEMBAGIAN WARISAN BERSAMA ANAK ANGKAT

PEMBAGIAN WARISAN BERSAMA ANAK ANGKAT


Pertanyaan:

Seseorang meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri, 3 orang saudara laki-laki sekandung, 2 orang saudara perempuan sekandung dan 2 orang anak angkat. Harta peninggalannya berupa sebuah rumah yang diwarisi dari orang tuanya, bukan harta yang diperoleh dari usahanya selama perkawinan dengan isterinya. Bersama ini kami mohon fatwa tentang:
1.      Siapa saja yang berhak mendapat bagian harta warisan?
2.      Berapa bagian dari masing-masing ahli waris yang berhak rnenerima?
3.      Bagaimana zakatnya?


Jawaban:

Sebelum sampai kepada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saudara, perlu kiranya kami sampaikan:
1.      Berdasarkan keterangan dalam pertanyaan saudara, maka dapat disimpulkan bahwa harta tersebut termasuk harta bawaan dari suami, sehingga dalam pembagian harta warisan tersebut, tidak diberlakukan sebagai harta gono gini.
2.      Sebagaimana telah sering kami kemukakan dalam jawaban tentang pembagian warisan, bahwa harta peninggalan sebelum dibagi kepada para ahli waris yang berhak menerima, terlebih dahulu harus dikeluarkan untuk biaya perawatan jenazah, yang meliputi biaya memandikan, mengkafani dan menguburkannya, serta untuk membayar hutang jika ada, baik hutang kepada Allah seperti rnembayar zakat atau membayar nadzar yang belum dibayarkan dikala pewaris masih hidup maupun hutang kepada sesama manusia, dan menunaikan wasiat jika dikala hidupnya pernah berwasiat dan belum dilaksanakan. Setelah itu semua dilaksanakan, baru harta peninggalan menjadi harta warisan yang dibagikan kepada para ahli waris yang berhak menerima.
Berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan saudara, kami berikan jawaban sebagai berikut:

Pertama: Tentang kedudukan masing-masing dari orang-orang yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu:

1.      Kedudukan Anak Angkat
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
... وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَالِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. اُدْعُوْهُمْ لِأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْا ءَابَآءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ. [الأحزاب (33): 4-5].
Artinya: “… dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba sahaya yang sudah dimerdekakan) …” [QS. al-Ahzab: (33): 4-5].
Dari ayat al-Qur’an di atas, diperoleh ketegasan bahwa anak angkat tidak boleh didaku dan disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak angkatnya.
Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”.
Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.

2.      Isteri (jandanya)
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ. [النساء (4): 12].
Artinya: Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” [QS. an-Nisa’ (4): 12].
Sehubungan dengan pertanyaan saudara, maka isteri memperoleh seperempat harta warisan, karena suaminya yang meninggal dunia tidak mempunyai anak.

3.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung.
Dalam Hukum Waris Islam, mereka secara bersama-sama kedudukannya sebagai ‘ashabah bil ghair, yakni mereka secara bersama-sama mewarisi seluruh harta warisan setelah diambil untuk ahli menerima bagian warisan tertentu dan wasiat, yang dalam hal ini ialah setelah dikurangi dengan bagian isteri (jandanya) dan wasiat wajibah yang diberikan kepada dua orang anak angkatnya.
Dalam membagi harta warisan antara saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung berlaku ketentuan bagian seorang saudara laki-laki sekandung sama dengan bagian dua orang saudara perempuan sekandung, berdasarkan firman Allah:
وَإِنْ كَانُوْا إِخْوَةً رِجَالاً وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ. [النساء (4): 176].
Artinya: “Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 176].

Kedua: Tentang bagian anak angkat dan masing-masing ahli waris:
Setelah diketahui kedudukan anak angkat dan masing-masing ahli waris, baru dilakukan perhitungan dalam pembagian harta warisannya. Misalnya harta warisan yang berupa sebuah rumah itu merupakan harta warisan yang sudah siap dibagi, dalam arti tidak lagi dibebani dengan biaya perawatan jenazah, hutang dan wasiat; dan dimisalkan dihargai dengan Rp. l00.000.000,- (seratus juta rupiah), maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

Diperhitungkan bagian masing-masing.
1.      Wasiat wajibah untuk dua orang anak angkat                        = 1/3
2.      Isteri (jandanya)                                                          = 1/4
                                                            Asal Masalah               =  12
3.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung dan
dua orang saudara perempuan sekandung                  = ‘ashabah bil ghair

Dengan demikian maka bagian masing-masing:
1.      Wasiat wajibah untuk dua orang anak angkat                        = 1/3 x 12 = 4
2.      Isteri (jandanya)                                                          = 1/4 x 12 = 3
3.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung dan
dua orang saudara perempuan sekandung                  = 12 – (4 + 3) = 5

Harga per bagian         = Rp. 100.000.000,- : 12                     = Rp. 8.333.333,-
Bagian harta warisan masing-masing, adalah:
1.      Wasiat wajibah untuk dua orang anak angkat                        = 4 x Rp. 8.333.333,-­
                                                                                                = Rp. 33.333.332,-
2.      Isteri (jandanya)                                                          = 3 x Rp. 8.333.333,-
= Rp 24.999.999,-
3.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung dan
dua orang saudara perempuan sekandung                  = 5 x Rp. 8.333.333,-
= Rp. 41.666.665,-­

Bagian untuk masing-masing saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung, dihitung sebagai berikut:
1.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung                      = 3 x 2 = 6
2.      Dua orang saudara perempuan sekandung                 = 2 x 1 = 2
Jumlah             =             8

Harga per bagian Rp. 41.666.665,- : 8 = Rp. 5.208.333,-
­Bagian harta warisan untuk masing-masing:
1.      Tiga orang saudara laki-laki sekandung                     = 6 x Rp. 5.208.333,-
                                                                                          = Rp 31.249.998,-­
Jadi bagian seorang saudara laki-laki sekandung
            = Rp. 31.249.998,- : 3                                                 = Rp. 10.416.666,-
2.      Dua orang saudara perempuan sekandung                 = 2 x Rp. 5.208.333,-
= ­Rp. 10.416.666,-
Jadi bagian seorang saudara perempuan sekandung
= Rp. 10.416.666,- : 2                                                 = Rp.   5.208.333,-

Ketiga: Tentang zakat dari bagian dari harta warisan.
Menurut hemat kami zakat uang dipersamakan dengan zakat emas, baik nishab, haul dan kadarnya. Nishab untuk zakat emas, yakni 85 gram emas murni, sedang haulnya harta tersebut telah tersimpan selama 1 tahun dan kadarnya 2,5 %. OIeh karena itu jika bagian harta warisan tersebut memang sudah mencapai harga emas murni seberat 85 gram, sudah tersimpan sampai dengan 1 tahun maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Namun jika belum atau tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pada zakat emas tersebut, belum atau tidak terkena kewajiban zakat. Sekalipun demikian diajarkan dalam al-Qur’an agar orang yang menerima bagian harta warisan untuk bershadaqah terutama kepada sanak kerabat yang tidak menerima bagian harta warisan, anak yatim dan orang miskin yang melihat atau menyaksikan secara langsung pembagian harta warisan tersebut. Allah berfirman:
­وَ إِذَا حَضَرَ اْلقِسْمَةَ أُوْلُوْا اْلقُرْبَى وَاْليَتَامَى وَاْلمَسَاكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوْفًا. [النساء (4): 8].
Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian warisan itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” [QS. an-Nisa’ (4): 8].
Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Hukum Menerima Bantuan 'Bodong' (Jumlah Tidak Sesuai Kwitansi)

Hukum Menerima Bantuan 'Bodong' (Jumlah Tidak Sesuai Kwitansi)


Pertanyaan:
Sudah sering kita dengar bahwa sekolah-sekolah dan amal usaha Muhammadiyah menerima bantuan-bantuan “bodong”. Itu istilah umum untuk dana bantuan yang besarnya berbeda antara kuitansi/laporan dengan nominal yang diterima. Bahkan sudah umum bantuan dari instansi/departemen dengan potongan sekian persen tanpa tanda terima dan sebagian besar orang menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Saya dalam hal ini sebagai bendahara merasa tidak punya pegangan aturan yang pasti selain mengikuti keputusan rapat pleno. Mohon dengan sangat melalui Majelis Tarjih dan Tajdid yang saya kira paling berwenang, memberikan fatwanya. 
Jawaban:
Dari pertanyaan yang Ibu sampaikan dapat kiranya dikatakan bahwa telah terjadi pemotongan atau pengambilan sebagian dana (uang) bantuan untuk amal usaha Muhammadiyah secara tidak sah oleh pihak atau oknum yang mengurusi penyaluran bantuan tersebut. Akibat pemotongan tersebut, maka dana (uang) bantuan menjadi berkurang, namun dalam laporan (administrasi) harus disebutkan diterima secara utuh dan penuh.
Terhadap perbuatan tersebut dapat diberi penjelasan sebagai berikut:
1.    Pihak atau oknum yang diberi amanat untuk menyalurkan dana (uang) bantuan yang memotong secara tidak sah tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pengkhianatan terhadap amanah. Perbuatan ini dilarang dalam agama. Allah berfirman:

Artinya:     “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” [QS. al-Anfal (8): 27]

2.      Pihak atau oknum pegawai yang memotong dana (uang) bantuan, termasuk melakukan perbuatan ghulul (korupsi). Perbuatan mi dilarang oleh agama. Allah berfirman: 


Artinya:     “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” [QS. Ali Imran (3):161]

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ. [رواه أبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa yang telah kami angkat sebagai pegawai dalam suatu jabatan kemudian kami berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gaji itu adalah korupsi.” [HR. Abu Daud]

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ. [رواه أحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as Sa‘idy bahwa Rasulullah saw bersabda: Hadiah yang diterima para pegawai adalah korupsi.” [HR. Ahmad]

3.    Pihak yang menerima yang menyetujui dana (uang) bantuan yang telah dipotong, dapat dikategorikan sebagai persengkokolan atau secara langsung atau tidak langsung memberi bantuan untuk melakukan tindakan ma‘shiyat (melawan hukum Allah) atau perbuatan dosa. Perbuatan sepeerti itu dilarang oleh agama. Allah berfirman:
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. al-Maidah (5): 2]

4.  Pihak penerima dana (uang) bantuan setelah dilakukan pemotongan, kemudian melaporkan atau menuliskan secara utuh dan penuh seolah-olah tidak ada pemotongan, perbuatan seperti itu adalah merupakan sebuah kebohongan. Agama melarang kebohongan dan menjadikan sebagai sebagian dari tanda-tanda orang munafik. Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ. [متفق عليه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: apabila berkata ia bohong, apabila berjanji ia tidak menepati, apabila dipercaya ia berkhianat.” [Muttafaq ‘alaih]

Berdasar pada dalil-dalil di atas, jelas bahwa pemotongan dana (uang) bantuan sebagaimana yang Ibu sebutkan adalah termasuk perbuatan munkar atau ma’shiyat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Terhadap posisi Ibu, sebagai bendahara yang tidak dapat tidak harus mengikuti keputusan pleno, maka jika keputusan itu mentolerir adanya pemotongan, kami bependapat posisi Ibu dalam keadaan terpaksa atau darurat atau setidak-tidaknya dalam posisi menghadapi sesuatu yang sangat sulit untuk ditolak.
Menghadapi perbuatan mungkar tersebut, Islam mengajarkan agar berusaha dan berani mencegahnya. Allah berfirman:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran (3); 104]

Surah at- Taubah Ayat 71:
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar.” [QS. at-Taubah (9): 71]

Dalam hadits diterangkan:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ. [رواه مسلم عن أبي سعيد]

Artinya: “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (kekuatan)nya: jika tidak dapat, maka dengan lisannya; dan jika tidak dapat, maka dengan hati (do‘a)nya; dan hal yang demikian itu adalah iman yang paling lemah.” [HR. Muslim dari Abu Sa’id]

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ بِعِقَابِهِ
[رواه ابن ماجه عن قيس بن أبي حازم]

Artinya: Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran tidak melakukan perubahan, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan adzabnya. [HR. Ibnu Majah dari Qais Ibn Abi Hazim]

Mengingat bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Maruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah; maka sudah seharusnya warga Muhammadiyah memulai dari diri sendiri untuk memberantas pemotongan dana (uang) bantuan seperti yang disebutkan di atas, karena hal itu merupakan salah satu bentuk dan praktik korupsi. Untuk Iebih memperluas wawasan tentang pemberantasan korupsi dalam pandangan ulama Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menerbitkan buku berjudul: FIKIH ANTI KORUPSI PERSPEKTIF ULAMA MUHAMMADIYAH.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Hukum Wanita Tidak Berjilbab

Hukum Wanita Tidak Berjilbab

 
 
Pertanyaan: 
As-Salamu ‘alaikum Wr. Wb.
mau bertanya tentang hukum orang yang tidak pernah memakai jilbab bagi orang Islam khususnya bagi perempuan. Terima kasih.
Was-salamu ‘alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam Wr.Wb.
Terimakasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Memakai jilbab bagi perempuan termasuk bagian dari perintah Allah swt untuk menutup aurat bagi kaum perempuan. Hal itu diperintahkan oleh Allah, di antaranya dalam surat an-Nur (24) ayat 31 dan al-Ahzab (33) ayat 59:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” [QS. an-Nur (24): 31]

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mu’min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ketubuhnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu". Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Ahzab (33): 59]

Mengenai hal ini, Rasulullah saw juga bersabda:

حدثنا ابن بشار ثنا أبوداود ثنا هشام عن قتادة أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: إنَّ اْلجَـارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تََصْلُحْ أن يُرَي مِنْهَا إِلاوَجْهُهَا وَيَدَاهَا إِلَى اْلمَفْصِلِ. [رواه أبوداود في المراسل، 406]

Artinya: “Telah menceritakan pada kami Ibnu Basyar, telah menceritakan pada kami Abu Dawud, telah menceritakan pada kami Hisyam, dari Qatadah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali wajahnya dan kedua (telapak) tangannya sampai tulang pergelangan tangan (sendi)".” [HR. Abu Dawud, al-Marâsil, no. 406]

 عن عَائِشَةَ أنَّ أسْمَاءَ بِنْتَ أبي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم وقال: يا أسْمَاءُ إنَّ الْمَرْأةَ إذَا بَلَغَتِ المَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ لَها أنْ يُرَى مِنْهَا إلاَّ هٰذَا وَهٰذَا، وَأشَارَ إلى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ . قالَ أَبُو دَاوُدَ هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رضي الله عنها [رواه أبوداود في سننه, 4140]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah bahwasannya Asma’ binti Abu Bakar masuk (dan menemui) Rasulullah saw sedang ia memakai pakaian yang tipis. Nabi saw pun  berpaling darinya dan bersabda: "Hai Asma’ apabila wanita telah mengeluarkan darah haid (tanda dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Dan Nabi saw berisyarat pada wajah dan kedua telapak  tangannya.” [HR. Abu Dawud dalam Sunannya, no.4140, hadits ini dinilai mursal oleh Abu Dawud]

Tentang masalah jilbab, baik dari segi hukumnya, sifat, batasan, disertai contoh visualnya, sudah dijelaskan dalam fatwa majelis Tarjih no. 13 tahun 2003, yang akan kami ringkaskan di sini.

Jilbab, berasal dari kata jalbaba yang berarti memakai baju kurung. Para ulama berbeda pendapat mengenai arti jilbab. Sebagian ulama mengartikannya baju kurung; sedang ulama lainnya mengartikannya baju wanita yang longgar yang dapat menutupi kepala dan dada. Al-Asy’ariy berpendapat bahwa jilbab ialah baju yang dapat menutupi seluruh badan. Ulama lainnya berpendapat, bahwa jilbab ialah kerudung wanita yang dapat menutupi kepala, dada, punggung (Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, entri. jalaba). Menurut Ibnu Abbas, jilbab ialah jubah yang dapat menutup badan dari atas hingga ke bawah (al-Qasimiy, XIII: 4908). Menurut al-Qurtubiy, jilbab ialah baju yang dapat menutup seluruh badan (al-Qurtubiy, VI: 5325).

Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa jilbab mempunyai dua pengertian:

1.   Jilbab ialah kerudung yang dapat menutup kepala, dada dan punggung yang biasa dipakai oleh kaum wanita.
2.   Jilbab ialah semacam baju kurung yang dapat menutup seluruh tubuh, yang biasa dipakai kaum wanita.

Jika kedua pengertian tersebut digabungkan, maka yang dimaksud dengan jilbab ialah pakaian wanita yang terdiri dari kerudung dan baju kurung yang dapat menutup seluruh auratnya. Atau dengan pengertian lain, jilbab adalah pakaian perempuan muslimah yang menutupi aurat; yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yang terdiri dari kerudung dan sejenis baju kurung. Oleh karena itu perlu diluruskan pandangan kita selama ini di Indonesia, yang cenderung mempersempit makna jilbab menjadi hanya sekedar penutup kepala saja.

Dari sini juga disimpulkan, bahwa wanita muslimah jika sudah menginjak dewasa tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya, selain kepada 13 kelompok orang sebagaimana tersebut dalam surat an-Nur (24): 31 di atas. Sedang syarat-syarat  jilbab yang baik di antaranya adalah: tidak tipis/transparan, tidak ketat sehingga nampak lelukan tubuhnya, dan tidak kecil sehingga bagian dada kemungkinan nampak dan tidak tertutupi.
 
Sebelum membahas pertanyaan saudara, perlu kita tegaskan kembali tugas utama manusia sebagai makhluk Allah swt, yaitu menyembah atau beribadah kepada-Nya, sesuai dengan firman Allah dalam surat adz-Dzariyat (51) ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[QS. adz-Dzariyat (51): 56]

Dalam beribadah dan menghamba kepada-Nya, manusia diberikan pedoman oleh Allah berupa ketentuan-ketentuan yang mengatur sendi-sendi kehidupan manusia. Pedoman itu berupa perintah dan larangan yang tercantum dalam al-Qur’an dan penjelasan dari Nabi Muhammad saw sebagai penutup para Nabi, yaitu berupa apa yang kita kenal sebagai Hadits/Sunnah. Jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara, maka bagi seorang muslim, harus ridha dan tidak ada pilihan lain baginya. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab (33) ayat 36:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh  dia telah sesat (dengan) kesesatan yang nyata.” [QS. al-Ahzab (33): 36]

Satu kriteria manusia yang terbaik sebagaimana disebut oleh al-Qur’an adalah mereka yang bertakwa, yaitu mereka yang mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu perintah Allah terkait dengan mereka kaum perempuan adalah masalah menutup aurat, dengan salah satunya memakai jilbab, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nur (24) ayat 31di atas.

Namun jiwa manusia, menurut al-Qur’an diberikan dua potensi atau kecenderungan, yaitu potensi berbuat baik (taqwa) dan potensi berbuat buruk (fujur), sebagaimana firman Allah dalam surat asy-Syams (91) ayat 7-8:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

Artinya: “dan (demi) jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” [QS. asy-Syams (91): 7-8]

Oleh karena itu wajar jika kita dapati, ada manusia yang cenderung mengembangkan potensi baiknya, yaitu mereka orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Namun ada juga mereka yang cenderung mengembangkan potensi buruknya, di mana akhirnya mereka cenderung menjauh dari Allah dan terbenam dalam perbuatan-perbuatan dosa yang dilarang-Nya, seperti mereka para perempuan yang membuka auratnya.  Perlu kita ketahui, hidup dan mati manusia itu hanyalah ujian dari Allah swt, untuk mengetahui siapa saja hamba-Nya yang paling baik amalnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk (67) ayat 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Artinya: Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. al-Mulk (67): 2]

Dari paparan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa perempuan muslim (muslimah) yang tidak memakai jilbab selama hidupnya, termasuk kelompok mereka yang tidak mematuhi perintah Allah swt dan Rasul-Nya sebagaimana diterangkan sebelumnya. Untuk itu, kami menganjurkan bagi para muslimah agar mentaati perintah Allah, dalam hal ini memakai jilbab untuk menutup auratnya sesuai dengan syarat-syarat berjilbab yang baik. Juga menjadi kewajiban bagi saudara untuk mengingatkan saudara anda -para muslimah-, dalam hal ini. Wallahu a'lam bish-shawab. *mr)
 
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid 
Pimpinan Pusat Muhammadiyah