Kurang lebih
sudah setahun saya menikah tetapi belum juga dianugerahi kehadiran tangis
seorang bayi. Sebenarnya kami tidak merencanakan untuk menunda punya anak dalam
waktu tertentu. Kapan Allah memberikannya, kami selalu dengan senang hati
menyambut kabar gembira itu.
Beranjak
tahun kedua pernikahan, kesepian semakin terasa dalam rumah tangga kami. Masih
belum ada kabar gembira kehamilan pada saya. Hal ini membuat saya stress
terlalu lama untuk menanti. Bahkan terkadang saya berpikir, apa saya mampu
untuk menjadi wanita sempurna yang bisa hamil dan melahirkan. Akhirnya saya
mencoba untuk sibuk beraktifitas di luar rumah, bahkan sesekali saya ke terapi
akupuntur untuk relaksasi sekaligus program diet.
Tepatnya pada bulan Agustus 2010, ketika di
cek pada test pack menunjukkan dua
garis merah. Alhamdulillah, itu pertanda saya positif hamil. Bahkan saya pun
tidak menyadarinya, karena tidak ada perubahan apapun pada fisik maupun emosi
saya. Seluruh aliran darah saya mengalir deras bahagia. Saya adalah seorang
wanita yang sangat beruntung karena diberkahi dengan kehamilan dan akan
dikaruniai seorang anak. Kehadiran sesosok janin di rahim saya merupakan
sesuatu yang sudah lama kami tunggu-tunggu. Saya pun memilih untuk berhenti
terapi akupuntur dan program diet. Walaupun berat badan saya selalu bertambah, tetapi saya tetap bahagia dan berusaha menjaga
kandungan saya karena banyak keajaiban dan keagungan Allah pada setiap wanita
hamil.
Saya dan
suami berusaha menjaga calon bayi kami dengan teratur memeriksakan kehamilan
saya ke dokter ahli kandungan. Sekali dalam sebulan, kami selalu mengunjungi
dokter langganan saya selama masa kehamilan, dr.Zulmaeta,Sp.OG,KFM di RSIA
Andini. Pada awal kehamilan, saya sering merasakan mual dan muntah.
Syukurlah, rasa tidak nyaman itu hanya sebentar dan saya kembali ceria. Bahkan
nafsu makan saya meningkat drastis.
Ketika usia
kehamilan saya memasuki bulan ke-7, dan saat itu dokter menyatakan bahwa posisi
calon bayi kami sungsang. Dokter menyarankan kepada saya untuk rajin berjalan kaki
di pagi hari dan waktu sholat, sujudnya dilamakan. Tiba di rumah, saya langsung
terdiam. Berharap saya dapat menjalankan persalinan dengan normal walau calon
bayi dalam keadaan sungsang. “Manusia
berusaha dan berdo’a dan semua serahkan hanya kepada Allah.” Hanya
kata-kata itu yang dapat menguatkan saya.
Awal usaha
saya, dengan berjalan kaki pergi ke pasar pada pagi hari. Semula terasa nyaman,
tapi ketika esok harinya saya ulang kembali terasa sangat melelahkan. Dan
akhirnya saya memilih untuk istirahat di rumah. Suami saya lah yang selalu
memberikan semangat untuk tetap berjalan pagi setiap hari agar posisi si janin
kembali bagus dan saya pun dapat
melahirkan dengan normal.
Waktu sujud
mulai saya perbanyak dan berjalan kaki di pagi hari pun saya kerjakan, walau
kadang timbul rasa malas karena lelah. Di setiap hari sabtu, saya mengikuti
senam hamil. Semua sudah saya kerjakan meskipun kurang maksimal, tapi paling
tidak saya sudah berusaha.
Di usia
kehamilan 8 bulan, saya kembali cek rutin ke dokter. Masih dengan kata yang sama,
bahwa posisi calon bayi sungsang. Dokter pun menyimpulkan, di usia kehamilan
saya yang sudah mendekati kematangan (9 bulan) sulit posisi bayi untuk kembali
normal. Dan solusinya adalah menjalankan persalinan melalui operasi caesar. Menuju perjalanan pulang ke rumah,
saya berbicara dalam hati sambil mengusap perut seolah-olah saya mencurahkan
isi hati dengan si janin.
“Anakku…Bila Umi boleh memilih apakah Umi harus
operasi caesar atau Umi harus berjuang melahirkanmu. Maka Umi memilih berjuang
melahirkanmu. Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit kelahiranmu,
adalah seperti menunggu antrian memasuki salah satu pintu surga.”
Lagi-lagi
saya berjalan kaki setiap pagi, sesekali suami ikut menemani. Detak jantung
saya semakin berdebar membayangkan perjuangan saya menuju final tinggal satu
bulan lagi. Tapi tetap saja saya tidak sanggup melakukannya terus-menerus.
Karena lelah dan sesak, dengan perut yang semakin hari semakin membesar. Di
tambah dengan posisi janin dalam keadaaan sungsang, membuat perut bagian atas
saya sering terasa nyeri.
Masa
trisemester terakhir pun mulai berakhir, itu pertanda usia kehamilan saya sudah
masuk 9 bulan. Perut saya semakin
membuncit, gerak si janin pun semakin terasa. Seperti biasanya, setiap bulan
saya cek ke dokter ahli kandungan. Namun kali ini, saya mencoba untuk berpaling
dengan beberapa dokter. Yaitu dr. Kharul
Anwar, Sp.OG di RS. Syafira dan dr.Emdahril, Sp.Og di RSIA Eria Bunda. Karena saya ingin lebih
yakin dengan persalinan normal atau operasi caesar
bagi calon bayi dalam posisi sungsang.
Semua
dokter yang saya kunjungi memberikan saran yang sama, melalui operasi caesar lah yang terbaik. Karena dilihat
dari beberapa faktor, posisi janin yang sungsang, berat janin sudah 3,7 kg dan
saya yang riwayat menderita asma. Dan dokter menyarankan untuk segera melalukan
operasi caesar sebelum pecah ketuban.
Agar tidak terjadinya emergency pada
saya dan juga calon bayi kami.
Sejak
saat itu, tidur saya mulai terasa tidak nyaman. Bercampur aduk yang saya
rasakan, gelisah, takut, sedih, dan resah membayangkan proses operasi. Karena
saya belum pernah mengalami operasi, hanya mendengar cerita dari orang lain
bagaimana proses operasi yang menyeramkan. Astaghfirullah,
tak henti-hentinya saya melafazkan kalimat Allah. Memohon petunjuk dan
perlindungan dari-Nya.
Akhirnya
waktu yang ditunggu datang juga, tepat nya pada hari selasa tanggal 5 April
2011. Dari subuh saya sudah berpuasa, karena dokter menyarankan seperti itu
sebelum operasi. Pukul 08.00 WIB, dengan langkah bismillah saya dan juga keluarga menuju rumah sakit persalinan RSIA Eria Bunda. Selama perjalanan
menuju RSIA saya berusaha menenangkan hati dengan bersenda gurau bersama
keluarga.
Sampai
di RSIA Eria Bunda, suami saya
langsung mengurus administrasi dan saya pun langsung di periksa ke UGD. Mulai
dari tensi, detak jantung janin dan pemeriksaan yang lainnya. Setelah itu saya
masuk ke kamar pasien, keluarga pun ikut setia menemani. Lanjut sekitar jam
10.00 WIB, suster masuk ke kamar dan menyuruh saya untuk memakai baju pasien. Setelah
itu suster memeriksa kembali detak jantung janin dan ambil sampel darah saya.
Detak jantung
saya mulai tidak beraturan, ketakutan pertama yang saya hadapi yaitu memasang
infus. Masya Allah sakit, ingin
rasanya menangis. Lumayan lama untuk memasang infus karena pembuluh darah saya
sulit ditemukan. Alhamdulillah, dengan dibantu suster yang satunya lagi, pembuluh
darah dapat ditemukan dan infus pun mulai dipasang. Setelah itu, saya
dipindahkan ke tempat tidur dorong.
Proses
kedua memasang selang urine (kantong
kencing), kali ini tidak seberapa sakitnya. Selanjutnya pukul 11.00 saya mulai
di bawa ke lantai 4, suami dan keluarga ikut menemani saya. Namun langkah
mereka terhenti hanya di depan pintu saja, karena tidak ada yang boleh masuk
selama proses operasi. Dan saat itu lah saya meneteskan air mata merasakan
sendiri berjuang dalam petarungan hidup dan mati mengharap ridho Illahi.
Di
ruang operasi saya hanya di temani dengan 2 perawat dan 3 dokter. Hal yang
pertama dilakukan dokter yaitu anastesi alias pembiusan. Kali ini rasa sakit
begitu sangat karena badan saya tiba-tiba disuntik tepat di tulang belakang.
Selang beberapa menit, dokter anastesi bertanya, “Bu, kakinya terasa makin
membesar?” Saya pun coba untuk mengangkat kaki, ternyata sudah tidak terasa
seperti hilang. Tidak lama setelah itu, leher saya disangga dengan besi yang
diberi kain untuk menutupi saya agar tidak dapat melihat proses operasi.
Salah
satu perawat berbisik dengan saya, “Ibu, banyak berdo’a ya. Bedah nya segera
dimulai”
Saat
itu pun saya membaca bismillah, dan
menyerahkan segalanya kepada Allah. Sambil bertasbih, saya mendengar bunyi
sayatan. Tidak lama badan saya terasa seperti kapal yang digoyang ke kiri ke
kanan karena dokter sulit untuk mengeluarkan calon bayi saya. Alhamdulillah, beberapa menit kemudian
saya mendengar suara tangisan bayi. Sosok bayi yang saya tunggu selama 9 bulan
ini. Pukul 12.14 WIB, saat itulah saat yang paling membahagiakan, segala sakit
dan derita yang saya rasakan di awal semua nya sirna. Putri cantik dan sehat
yang saya rindui selama ini telah hadir dalam kehidupan kami. Dan ia pun kami
berinama “Ilmira Zahrani Sakina”.
Pukul
12.25 WIB, operasi selesai dan saya pun didorong kembali memasuki kamar ICU
untuk pemulihan bius. Selama kurang lebih 3 jam di ruang ICU saya dapat miring
kanan kiri dan angkat kaki. Sekitar jam 4 sore, saya masuk kembali ke kamar
ruang inap pasien. Dan Zahra, putri kecil kami, dibawa ke kamar untuk pertama
kalinya bertemu dengan saya ibunya. Subhanallah,
rasanya luar biasa kebahagian yang kami rasakan.
Penulis : Shofia Maghfiroh
Shofia Maghfiroh dan keluarga